Sawitri gaya Surakarta
ƪ(‾ε‾)ʃ ƪ(ˇ▿ˇ)ʃ ƪ(‾ε‾“)ʃ ▹(ˇ⌣ˇ)◃ ƪ(˘ε˘”)ʃ
Di Negeri Madras, yang kemudian kita kenal dengan negara Mandaraka, bertahtalah seorang raja yang bernama Aswapati, mempunyai seorang puteri bernama Sawitri.
Sang Baginda raja, merasa gundah hati, karena melihat puterinya, yang sudah beranjak dewasa, balum juga ada seorang pria datang untuk berkenalan atau bahkan datang untuk melamarnya.
Raja akhirnya memerintahkan Dewi Sawitri untuk meninggalkan istana, dan mencari pria pujaan hatinya.
Sebenarnya Dewi Sawitri sudah menemukan pria idamannya, lewat impian.
Perjalanan Sawitri akhirnya memasuki hutan.
Di hutan itu, Sawitri menemukan seorang pria tampan sedang bersemadi.
Sawitri merasa kalau pria itu seperti yang ditemuinya dalam impiannya.
Sawitri menunggui dengan setia.
Disiapkannya makanan berupa buah buahan yang masih segar yang dipetiknya dari berbagai tempat di sekeliling tempat Satyawan bersemedi.
Beberapa saat kemudian, Satyawan terbangun dari semadi nya.
Ia melihat Sawitri seorang gadis cantik, Satyawan menatap gadis itu beberapa saat, kelihatannya ia jatuh cinta pada Sawitri.
Kemudian keduanya saling berkenalan, mereka kelihatan akrab.
Akhirnya mereka saling menyatakan cintanya.
Satyawan adalah putera raja Salwa.
Ayahandanya terusir dari istana dan negaranya sendiri, karena kalah dalam judi, yang mengharuskan hukuman buang selama 13 tahun, seperti yang akan dialami Pandawa beberapa generasi kemudian.
Di dalam pengembaraannya, sampai di hutan itu, dan Prabu Jumatsena ayahanda Satyawan setelah mengalami peristiwa itu, menjadikan penyesalan yang tak habis habisnya memangisi nasibnya, sampai Prabu Jumatsena mengalami kebutaan.
Kini ayahnya pun tinggal bersama Satyawan dalam sebuah goa.
Setelah beberapa hari tinggal didalam goa bersama Satyawan dan ayahnya, Sawitri berpamitan dan berjanji akan menemuinya lagi untuk dua tiga hari mendatang.
Sawitri kembali ke negeri Madras menghadap ayahanda nya prabu Aswapati.
Mendengar cerita Sawitri, ayahandanya Prabu Aswapati, merasa bahagia.
Ia senang akan berbesan dengan Prabu Jumatsena.
Tiba tiba saja, datang Batara Narada turun ke marcapada, untuk menemui Prabu Aswapati dan puterinya, Dewi Sawitri. Batara Narada membawa berita, kalau Satyawan umurnya tinggal setahun,dan memintanya agar membatalkan rencana perkawinan Sawitri dan Satyawan.
Namun Sawitri cintanya pada Satyawan telah mekar, dan setelah mendengar berita dari Batara Barada justru cintanya menjadi lebih mendalam.
Karena cinta mereka berdua sudah tak tak terbendung lagi, maka oleh Prabu Aswapati, di gelarlah acara perkawinan puterinya, Sawitri, dengan pria pilihannya sendiri, Setyawan.
Sebenarnya Prabu Aswapati minta Satyawan dan ayahandanya tinggal di istana, namun Satyawan dan Ayahandanya bermaksud meneruskan tapanya di hutan.
Prabu Aswapati tidak bisa membendung keinginan Satyawan dan ayahandanya.
Mengingat suaminya akan kembali ke hutan,maka Sawitri pun berpamitan pada ayahnya, untuk mengikuti suaminya.
Raja Aswapati pun merestui puterinya, Sawitri mengikuti suaminya.
Sudah beberapa
bulan ini Sawitri tinggal bersama dengan Satyawan.
Waktu begitu cepat berlalu. Kini sudah memasuki sisa umur Satyawan yang tinggal beberapa hari lagi.
Sawitri selalu berdoa agar usia Satyawan dapat di perpanjang.
Tiba tiba datang seorang dewa dengan cahaya memerah, kulit hitam memerah, mata memerah dan juga berpakaian serba merah.
Nampak menggotong sukma seseorang.
Sawitri tidak sadar, kalau sukma yang dibawa adalah sukma suami Satyawan.
Terhenyak dari ketertegunannya, maka ia segera memeriksa suaminya, ia melihat Satyawan sudah terbaring lemas tanpa bernapas.
Segera Sawitri menangkap dan menarik lengan baju sang dewa penyabut sukma, yaitu dewa Yamadipati, yang baru turun dari Kahyangan dan telah mengambil sukma suaminya.
Entah karena apa, Yamadipati tidak berdaya ketika Sawitri memegangi lengan bajunya.
Dewi Sawitri tanpa terasa bisa berjalan diangkasa mengikuti kepergian Batara Yamadipati. pergi ke Kahyangan.
Batara Yamadipati minta agar Sawitri melepaskan baju Batara Yamadipati yang dipegang erat oleh Dewi Sawitri.
Perjalanan Sawitri mengikuti Batara Yamadipati sudah semakin jauh, mendekati alam kahyangan. Melihat situasi yang tidak nyaman.
Batara Yamadipati berjanji akan memberikan tiga permintaan kepada Sawitri, asal Sawitri tidak meminta nyawa Satyawan, dan setelah itu harus melepas pegangan baju Batara Yamadipati.
Dewi Sawitri semakin erat memegangi lengan baju Batara Yamadipati.
Sawitri akhirnya menerima pemberian tiga permintaan yang diberikan Batara Yamadipati.
Yang pertama Sawitri meminta agar ayah mertuanya, yaitu Prabu Jumatsena disembuhkan dari kebutaannya, permintaan yang kedua, minta agar ayah mertuanya, dapat berkuasa kembali di negerinya lagi.
Yamadipati sudah memenuhi dua permintaan.
Tinggal satu permintaan lagi.
Sawitri minta setelah perkawinan dengan Satyawan, setahun yang lalu, ia belum dikurniai putera seorang pun, maka ia menginginkan mempunyai putera sebanyak 100 orang putera dari Satyawan.
Tanpa berpikir panjang Batara Yamadipati mengiyakan permintaan Sawitri. Sawitri ragu, maka ia pun menanyakan apakah Batara Yamadipati tidak bohong.
Tentu saja Batara Yamadipati degan tegas bahwa semua dewa tidak ada yang berbohong pada manusia.
Sawitri akhirnya bicara, bahwa anak 100 yang akan didapat dari Satyawan, hanya bohong belaka, kalau Satyawan tidak diberikan kesempatan hidup lagi selama 100 tahun lagi.
Batara Yamadipati tertegun, ketika tahu kalau tanpa sengaja ia memberikan sukma Satyawan kepada Sawitri.
Batara Yamadipati menjadi iba melihat kesetiaan Sawitri pada suaminya, Satyawan.
Batara Yamadipati menjadi iba melihat kesetiaan Sawitri pada suaminya.
Akhirnya Batara Yamadipati dengan menggendong sukma Satyawan dan membimbing Sawitri kembali turun ke marcapada kembali ketempat Setyawan terbaring sebelumnya.
Sukma dikembalikan, dan Setyawan hidup kembali.
Peristiwa ini tidak pernah diceritakan kepada suaminya, sampai akhir hidupnya.
Karena Sawitri tidak menginginkan suaminya merasa berhutang nyawa dengannya.
Kini mereka hidup bahagia di istana Salwa bersama ayahandanya yang telah bisa melihat lagi, memerintah kembali negerinya dengan arif bijaksana.
Pada jaman dahulu kala di negeri Madra bertahtalah seorang raja bernama Prabu Aswapati yang berbudi luhur, adil dan bijaksana. Beliau mempunyai seorang putri yang bernama Dewi Sawitri yang cantik parasnya, laksana dewi Sri dari Kahyangan. Akan tetapi walaupun Sawitri mempunyai paras yang elok, tubuhnya yang indah menggiurkan, matanya seperti bunga saroja, namun Prabu Aswapati selalu bermuram durja, karena Dewi Sawitri yang sudah dewasa itu belum ada seorangpun yang meminangnya. Maka pada suatu hari Prabu Aswapati bersabda kepada putrinya: “Hai putriku Sawitri, waktu ini sudah saatnya kau harus bersuami. Tetapi karena sampai sekarang tak ada yang meminangmu, maka pilih dan carilah sendiri seorang sujana yang patut menjadi suamimu.”
Mendengar sabda ayahnya, Sawitripun segera bersujud dan pergi dengan tanpa berpikir lagi, karena malu atas perkataan ayahandanya itu. Dengan diiringi oleh beberapa pengawal berangkatlah Dewi Sawitri dengan kereta kencana memasuki hutan belantara menuju ke tempat pertapaan para Brahmana. Di tengah hutan tersebut Dewi Sawitri berjumpa dengan seorang pria yang tampan, Setiawan namanya. Ia putra dari seorang Brahmanaraja yang bernama Jumatsena. Brahmanaraja tersebut semula adalah seorang raja di negeri Syalwa, tetapi kemudian menjadi Brahmana karena cacat buta matanya, pada waktu
putranya masih kecil beliau cacat meninggalkan tahtanya yang telah dirampas oleh musuh. Setiawan yang dibesarkan di tengah hutan pertapaan itulah yang menjadi pilihan Dewi Sawitri.
Setelah seksama pengamatannya, kembalilah Dewi Sawtri menghadap ayahandanya dengan menceritakan pengalamannya. Tetapi betapa menyesalnya ketika mendengar sabda betara Narada yang saat itu berkunjung ke negeri Madra. “Aduhai raja Madra, putrimu ternyata kurang teliti memilih suami, walaupun Setiawan lurus dan luhur budinya, tetapi ia mempunyai cacat yang akan menghilangkan segala kebajikannya. Cacatnya itu hanya satu, yaitu “Setahun lagi Setiawan akan sampai pada ajalnya.”
Maka setelah mendengar sabda betara Narada itu raja Aswapati segera memerintahkan dewi Sawitri untuk memilih orang lain, agar kelak tidak menjadi janda. Tetapi apa jawab dewi Sawitri: “Duuh, ayahanda. Sekali patik memilih tidak akan lagi memilih orang lain, karena yang diputuskan oleh hati harus diucapkan dengan suara, kemudian dinyatakan dengan perbuatan, itulah pedoman hamba.”
Karena Sawitri tidak mau mengubah pendiriannya, maka Prabu Aswapati menyediakan peralatan perkawinan menurut adat. Dan dikawinkanlah Sawitri dengan Setiawan, sejak saat itu Sawitri diboyong ke hutan pertapaan. Sawitri selalu menyenangkan suaminya dengan perkataan manis dan kebaktian serta kesetiaannya yang luar biasa. Tetapi tubuh Sawitri makin hari makin susut karena siang malam selalu ingat akan perkataan yang disabdakan oleh betara Narada.
Hari berganti hari, maka sampailah hari yang keempat sebelum Setiawan meninggal, Sawitri telah berjanji akan berdiri tegak selama 3 hari 3 malam. Walaupun Brahmanaraja Jumat Sena telah meminta untuk mengubah janjinya namun Sawitri tetap dalam pendiriannya. Tepat pada hari Setiawan akan menemui ajalnya, pagi – pagi Dewi Sawitri menghampiri suaminya dan berkata, “Janganlah kakanda hari ini pergi seorang diri ke hutan karena adinda tak kuasa bercerai dengan kakanda. Perkenankanlah hamba bersama kakanda pergi ke hutan mencari kayu.” Ujar Setiawan sambil mendelik, “Hai adinda, kau belum pernah menempuh hutan selebat itu, bagaimana adinda dapat berjalan? Padahal adinda terlalu lemah akibat terus berpuasa dan bertapa.”
Jawab Dewi Sawitri, “Hamba tidak lelah oleh puasa dan apa yang telah hamba putuskan harus hamba kerjakan.” Brahmaraja Jumat Sena dan Setiawan setelah mendengar ucapa Dewi Sawitri itu terpaksa mengabulkan permintaannya, karena selama berada di pertapaan Dewi Sawitri belum pernah mengajukan sesuatu permintaan. Maka berjalanlah Dewi Sawitri di belakang suaminya dengan rasa pilu dan teriris – iris sambil menantikan saat yang telah ditetapkannya itu. Setelah mengumpulkan buah – buahan di keranjangnya, maka mulailah Setiawan membelah kayu. Tetapi tiba – tiba keluarlah peluh yang membasahi tubuhnya dan menyebabkan terasa sakit di kepalanya.
Dengan sempoyongan Setiawan menghampiri Dewi Sawitri sambil berkata, “Adinda, kepala kakanda bagai ditikm lembing rasanya, sehingga kakanda tak kuasa berdiri, biarlah kakanda tidur sejenak.” Maka Dewi Sawitri menghampiri suaminya, kemudian duduk bersimpuh di tanah. Kepala Setiawan diletakkannya di haribaannya. Lalu ia teringat akan sabda batara Narada, serta sadar bahwa inilah saat ajal Setiawan jam dan harinya telah tiba. Pada saat itu juga datanglah seorang yang bermahkota merah, matanya merah, seram sikapnya dengan sebuah jerat di tangannya, sungguh – sungguh menakutkan ujudnya. Ia adalah batara Yama dan berdiri di sisi Setiawan.
Kemudian ia berkata, “Hai Sawitri, suamimu hidupnya telah habis.” Dan barata Yama pun berjalan pergi dengan menjerat serta membawa nyawa Setiawan. Dewi Sawitri, istri yang setia yang telah memenuhi
janji itu dengan rasa pilu mengikuti batara Yama. Maka sabda batara Yama, “Kembalilah hai Sawitri, berbuatlah untuk merawat mayat suamimu, kau telah memenuhi segala kewajiban terhadap suamimu.” Jawab Sawitri, “Ke mana junjungan patik dibawa, ke situlah patik pergi.
Oleh karena itu janganlah ditolak perjalanan patik.” “Perkataanmu sungguh tinggi artinya, oleh karena itu mintalah sesuatu pasti akan kukabulkan asalkan jangan minta mayat suamimu dihidupkan kembali.” Jawab Sawitri, “Kembalikan kerajaan, kekuasaan, dan kesehatan mertua patik sehingga beliau dapat melihat kembali.” Sabda batara Yama, “Permintaanmu akan kuberi, dan kembalilah kamu supaya tidak payah di jalan.” Tetapi kata Dewi Sawitri, “Patik tidak akan payah selama berdampingan dengan suami patik, karena sekali patik bercampur dengan seorang yang berbudi, selama itulah patik akan mengabdi.” Sabda sang betara Yama, “Perkataanmu sungguh menyenangkan orang budiman, oleh karena itu mintalah sekali lagi, asal tidak minta hidupnya kembali Setiawan.” Jawab Dewi Sawitri, “Mohon
kami diberi 100 orang putra dan hidup di suatu kerajaan yang panjang punjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah tata tentram karta raharja.” Sabda batara Yama, “100 orang putra yang gagah perkasa,
bahagia sempurna akan kuberi dan sekarang kembalilah Sawitri, karena kau telah berjalan terlalu jauh.”
Dewi Sawitri berucap, “Bagaimana patik dapat berputra 100 orang, apabila patik tidak bersuami, tak ada gunanya patik selamat dan bahagia, jika suami patik tak ada. Oleh karena itu hidupkanlah Setiawan junjungan patik.” Batara Yama bersabda, “Baiklah kulepas nyawa suamimu, berbahagialah engkau dengan junjunganmu. Dan Setiawan akan kuberi usia 100 tahun.”
Sesudah mengabulkan permintaan Dewi Sawitri, maka lenyaplah batara Yama dan pergilah Sawitri ke tempat suaminya berbaring. Dengan perlahan – lahan duduk bersimpuh dan mengangkat kepala Setiawan ke haribaannya. Tak lama kemudian Setiawan membuka matanya bagaikan orang tidur terlalu lama. Dewi Sawitri dengan perasaan haru, sambil menyanggul rambutnya memelukkan tangannya kepada suaminya.
Waktu itu hari telah larut malam. Kedua insan yang berbahagia itu sedang bersiap – siap hendak pulang ke pertapaan. Sementara itu Prabu Jumat Sena yang berada di pertapaan sangat terkejut karena tiba – tiba ia dapat melihat kembali. Dengan rasa bersyukur dan bahagia kepada Yang Maha Kuasa, beliau menanti kedatangan putra – putranya. Tak lama kemudian datanglah Setiawan dengan Dewi Sawitri dan sambil bersujud, berceritalah Dewi Sawitri di hadapan mertuanya apa yang telah dialaminya selama di hutan, serta perjumpaannya dengan batara Yama.
Yamadipati yang jengkel bukan main, segera pergi dan berniat menghilang dari hadapan pengganggunya ini. Tapi ajaibnya, di depan Sawitri, semua kesaktian dan kemampuan kadewatan yang biasa dimiliki Yamadipati menguap begitu saja. Dia tidak mampu melepaskan diri dari Sawitri!.
Et dah!
Ayolah, pikir Yamadipati, kalau aku gak mampu meninggalkan perempuan ini, masa sih dia tahan berjalan jauh?. Jadilah Yamadipati sengaja berjalan muter-muter kemana-mana diikuti Sawitri, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan (kata dhalangnya sih…). Tapi ternyata Yamadipati juga salah memperkirakan kemampuan fisik Sawitri yang dikiranya lemah. (Jelas, dalam hal ini Yamadipati ini salah prediksi. Dia mungkin belum pernah tahu kalau dari tangan perempuan yang katanya lemah ini bisa meluncur “UFO” atau gilingan cabe, yang bisa membuat pria seperkasa Ade Rai pun tumbang). Sawitri gak ada capeknya!
Yamadipati cep klakep. Gondok betul dia! Perjalananpun dilanjutkan dalam diam. Kemudian terlintas ide baru dari sang Yamadipati. Kini dia memilih memakai pola serangan yang tidak langsung. Gaya tiki-takanya si Uncle Pep.
Waktu begitu cepat berlalu. Kini sudah memasuki sisa umur Satyawan yang tinggal beberapa hari lagi.
Sawitri selalu berdoa agar usia Satyawan dapat di perpanjang.
Tiba tiba datang seorang dewa dengan cahaya memerah, kulit hitam memerah, mata memerah dan juga berpakaian serba merah.
Nampak menggotong sukma seseorang.
Sawitri tidak sadar, kalau sukma yang dibawa adalah sukma suami Satyawan.
Terhenyak dari ketertegunannya, maka ia segera memeriksa suaminya, ia melihat Satyawan sudah terbaring lemas tanpa bernapas.
Segera Sawitri menangkap dan menarik lengan baju sang dewa penyabut sukma, yaitu dewa Yamadipati, yang baru turun dari Kahyangan dan telah mengambil sukma suaminya.
Entah karena apa, Yamadipati tidak berdaya ketika Sawitri memegangi lengan bajunya.
Dewi Sawitri tanpa terasa bisa berjalan diangkasa mengikuti kepergian Batara Yamadipati. pergi ke Kahyangan.
Batara Yamadipati minta agar Sawitri melepaskan baju Batara Yamadipati yang dipegang erat oleh Dewi Sawitri.
Perjalanan Sawitri mengikuti Batara Yamadipati sudah semakin jauh, mendekati alam kahyangan. Melihat situasi yang tidak nyaman.
Batara Yamadipati berjanji akan memberikan tiga permintaan kepada Sawitri, asal Sawitri tidak meminta nyawa Satyawan, dan setelah itu harus melepas pegangan baju Batara Yamadipati.
Dewi Sawitri semakin erat memegangi lengan baju Batara Yamadipati.
Sawitri akhirnya menerima pemberian tiga permintaan yang diberikan Batara Yamadipati.
Yang pertama Sawitri meminta agar ayah mertuanya, yaitu Prabu Jumatsena disembuhkan dari kebutaannya, permintaan yang kedua, minta agar ayah mertuanya, dapat berkuasa kembali di negerinya lagi.
Yamadipati sudah memenuhi dua permintaan.
Tinggal satu permintaan lagi.
Sawitri minta setelah perkawinan dengan Satyawan, setahun yang lalu, ia belum dikurniai putera seorang pun, maka ia menginginkan mempunyai putera sebanyak 100 orang putera dari Satyawan.
Tanpa berpikir panjang Batara Yamadipati mengiyakan permintaan Sawitri. Sawitri ragu, maka ia pun menanyakan apakah Batara Yamadipati tidak bohong.
Tentu saja Batara Yamadipati degan tegas bahwa semua dewa tidak ada yang berbohong pada manusia.
Sawitri akhirnya bicara, bahwa anak 100 yang akan didapat dari Satyawan, hanya bohong belaka, kalau Satyawan tidak diberikan kesempatan hidup lagi selama 100 tahun lagi.
Batara Yamadipati tertegun, ketika tahu kalau tanpa sengaja ia memberikan sukma Satyawan kepada Sawitri.
Batara Yamadipati menjadi iba melihat kesetiaan Sawitri pada suaminya, Satyawan.
Batara Yamadipati menjadi iba melihat kesetiaan Sawitri pada suaminya.
Akhirnya Batara Yamadipati dengan menggendong sukma Satyawan dan membimbing Sawitri kembali turun ke marcapada kembali ketempat Setyawan terbaring sebelumnya.
Sukma dikembalikan, dan Setyawan hidup kembali.
Peristiwa ini tidak pernah diceritakan kepada suaminya, sampai akhir hidupnya.
Karena Sawitri tidak menginginkan suaminya merasa berhutang nyawa dengannya.
Kini mereka hidup bahagia di istana Salwa bersama ayahandanya yang telah bisa melihat lagi, memerintah kembali negerinya dengan arif bijaksana.
Sawitri gaya Yogyakarta
ƪ(‾ε‾)ʃ ƪ(ˇ▿ˇ)ʃ ƪ(‾ε‾“)ʃ ▹(ˇ⌣ˇ)◃ ƪ(˘ε˘”)ʃ
Pada jaman dahulu kala di negeri Madra bertahtalah seorang raja bernama Prabu Aswapati yang berbudi luhur, adil dan bijaksana. Beliau mempunyai seorang putri yang bernama Dewi Sawitri yang cantik parasnya, laksana dewi Sri dari Kahyangan. Akan tetapi walaupun Sawitri mempunyai paras yang elok, tubuhnya yang indah menggiurkan, matanya seperti bunga saroja, namun Prabu Aswapati selalu bermuram durja, karena Dewi Sawitri yang sudah dewasa itu belum ada seorangpun yang meminangnya. Maka pada suatu hari Prabu Aswapati bersabda kepada putrinya: “Hai putriku Sawitri, waktu ini sudah saatnya kau harus bersuami. Tetapi karena sampai sekarang tak ada yang meminangmu, maka pilih dan carilah sendiri seorang sujana yang patut menjadi suamimu.”
Mendengar sabda ayahnya, Sawitripun segera bersujud dan pergi dengan tanpa berpikir lagi, karena malu atas perkataan ayahandanya itu. Dengan diiringi oleh beberapa pengawal berangkatlah Dewi Sawitri dengan kereta kencana memasuki hutan belantara menuju ke tempat pertapaan para Brahmana. Di tengah hutan tersebut Dewi Sawitri berjumpa dengan seorang pria yang tampan, Setiawan namanya. Ia putra dari seorang Brahmanaraja yang bernama Jumatsena. Brahmanaraja tersebut semula adalah seorang raja di negeri Syalwa, tetapi kemudian menjadi Brahmana karena cacat buta matanya, pada waktu
putranya masih kecil beliau cacat meninggalkan tahtanya yang telah dirampas oleh musuh. Setiawan yang dibesarkan di tengah hutan pertapaan itulah yang menjadi pilihan Dewi Sawitri.
Setelah seksama pengamatannya, kembalilah Dewi Sawtri menghadap ayahandanya dengan menceritakan pengalamannya. Tetapi betapa menyesalnya ketika mendengar sabda betara Narada yang saat itu berkunjung ke negeri Madra. “Aduhai raja Madra, putrimu ternyata kurang teliti memilih suami, walaupun Setiawan lurus dan luhur budinya, tetapi ia mempunyai cacat yang akan menghilangkan segala kebajikannya. Cacatnya itu hanya satu, yaitu “Setahun lagi Setiawan akan sampai pada ajalnya.”
Maka setelah mendengar sabda betara Narada itu raja Aswapati segera memerintahkan dewi Sawitri untuk memilih orang lain, agar kelak tidak menjadi janda. Tetapi apa jawab dewi Sawitri: “Duuh, ayahanda. Sekali patik memilih tidak akan lagi memilih orang lain, karena yang diputuskan oleh hati harus diucapkan dengan suara, kemudian dinyatakan dengan perbuatan, itulah pedoman hamba.”
Karena Sawitri tidak mau mengubah pendiriannya, maka Prabu Aswapati menyediakan peralatan perkawinan menurut adat. Dan dikawinkanlah Sawitri dengan Setiawan, sejak saat itu Sawitri diboyong ke hutan pertapaan. Sawitri selalu menyenangkan suaminya dengan perkataan manis dan kebaktian serta kesetiaannya yang luar biasa. Tetapi tubuh Sawitri makin hari makin susut karena siang malam selalu ingat akan perkataan yang disabdakan oleh betara Narada.
Hari berganti hari, maka sampailah hari yang keempat sebelum Setiawan meninggal, Sawitri telah berjanji akan berdiri tegak selama 3 hari 3 malam. Walaupun Brahmanaraja Jumat Sena telah meminta untuk mengubah janjinya namun Sawitri tetap dalam pendiriannya. Tepat pada hari Setiawan akan menemui ajalnya, pagi – pagi Dewi Sawitri menghampiri suaminya dan berkata, “Janganlah kakanda hari ini pergi seorang diri ke hutan karena adinda tak kuasa bercerai dengan kakanda. Perkenankanlah hamba bersama kakanda pergi ke hutan mencari kayu.” Ujar Setiawan sambil mendelik, “Hai adinda, kau belum pernah menempuh hutan selebat itu, bagaimana adinda dapat berjalan? Padahal adinda terlalu lemah akibat terus berpuasa dan bertapa.”
Jawab Dewi Sawitri, “Hamba tidak lelah oleh puasa dan apa yang telah hamba putuskan harus hamba kerjakan.” Brahmaraja Jumat Sena dan Setiawan setelah mendengar ucapa Dewi Sawitri itu terpaksa mengabulkan permintaannya, karena selama berada di pertapaan Dewi Sawitri belum pernah mengajukan sesuatu permintaan. Maka berjalanlah Dewi Sawitri di belakang suaminya dengan rasa pilu dan teriris – iris sambil menantikan saat yang telah ditetapkannya itu. Setelah mengumpulkan buah – buahan di keranjangnya, maka mulailah Setiawan membelah kayu. Tetapi tiba – tiba keluarlah peluh yang membasahi tubuhnya dan menyebabkan terasa sakit di kepalanya.
Dengan sempoyongan Setiawan menghampiri Dewi Sawitri sambil berkata, “Adinda, kepala kakanda bagai ditikm lembing rasanya, sehingga kakanda tak kuasa berdiri, biarlah kakanda tidur sejenak.” Maka Dewi Sawitri menghampiri suaminya, kemudian duduk bersimpuh di tanah. Kepala Setiawan diletakkannya di haribaannya. Lalu ia teringat akan sabda batara Narada, serta sadar bahwa inilah saat ajal Setiawan jam dan harinya telah tiba. Pada saat itu juga datanglah seorang yang bermahkota merah, matanya merah, seram sikapnya dengan sebuah jerat di tangannya, sungguh – sungguh menakutkan ujudnya. Ia adalah batara Yama dan berdiri di sisi Setiawan.
Kemudian ia berkata, “Hai Sawitri, suamimu hidupnya telah habis.” Dan barata Yama pun berjalan pergi dengan menjerat serta membawa nyawa Setiawan. Dewi Sawitri, istri yang setia yang telah memenuhi
janji itu dengan rasa pilu mengikuti batara Yama. Maka sabda batara Yama, “Kembalilah hai Sawitri, berbuatlah untuk merawat mayat suamimu, kau telah memenuhi segala kewajiban terhadap suamimu.” Jawab Sawitri, “Ke mana junjungan patik dibawa, ke situlah patik pergi.
Oleh karena itu janganlah ditolak perjalanan patik.” “Perkataanmu sungguh tinggi artinya, oleh karena itu mintalah sesuatu pasti akan kukabulkan asalkan jangan minta mayat suamimu dihidupkan kembali.” Jawab Sawitri, “Kembalikan kerajaan, kekuasaan, dan kesehatan mertua patik sehingga beliau dapat melihat kembali.” Sabda batara Yama, “Permintaanmu akan kuberi, dan kembalilah kamu supaya tidak payah di jalan.” Tetapi kata Dewi Sawitri, “Patik tidak akan payah selama berdampingan dengan suami patik, karena sekali patik bercampur dengan seorang yang berbudi, selama itulah patik akan mengabdi.” Sabda sang betara Yama, “Perkataanmu sungguh menyenangkan orang budiman, oleh karena itu mintalah sekali lagi, asal tidak minta hidupnya kembali Setiawan.” Jawab Dewi Sawitri, “Mohon
kami diberi 100 orang putra dan hidup di suatu kerajaan yang panjang punjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah tata tentram karta raharja.” Sabda batara Yama, “100 orang putra yang gagah perkasa,
bahagia sempurna akan kuberi dan sekarang kembalilah Sawitri, karena kau telah berjalan terlalu jauh.”
Dewi Sawitri berucap, “Bagaimana patik dapat berputra 100 orang, apabila patik tidak bersuami, tak ada gunanya patik selamat dan bahagia, jika suami patik tak ada. Oleh karena itu hidupkanlah Setiawan junjungan patik.” Batara Yama bersabda, “Baiklah kulepas nyawa suamimu, berbahagialah engkau dengan junjunganmu. Dan Setiawan akan kuberi usia 100 tahun.”
Sesudah mengabulkan permintaan Dewi Sawitri, maka lenyaplah batara Yama dan pergilah Sawitri ke tempat suaminya berbaring. Dengan perlahan – lahan duduk bersimpuh dan mengangkat kepala Setiawan ke haribaannya. Tak lama kemudian Setiawan membuka matanya bagaikan orang tidur terlalu lama. Dewi Sawitri dengan perasaan haru, sambil menyanggul rambutnya memelukkan tangannya kepada suaminya.
Waktu itu hari telah larut malam. Kedua insan yang berbahagia itu sedang bersiap – siap hendak pulang ke pertapaan. Sementara itu Prabu Jumat Sena yang berada di pertapaan sangat terkejut karena tiba – tiba ia dapat melihat kembali. Dengan rasa bersyukur dan bahagia kepada Yang Maha Kuasa, beliau menanti kedatangan putra – putranya. Tak lama kemudian datanglah Setiawan dengan Dewi Sawitri dan sambil bersujud, berceritalah Dewi Sawitri di hadapan mertuanya apa yang telah dialaminya selama di hutan, serta perjumpaannya dengan batara Yama.
Sawitri gaya Surakarta
ƪ(‾ε‾)ʃ ƪ(ˇ▿ˇ)ʃ ƪ(‾ε‾“)ʃ ▹(ˇ⌣ˇ)◃ ƪ(˘ε˘”)ʃ
Kisah Sawitri, Cinta Istri yang Merubah Takdir
Ceritanya sekarang bukan cerita carangan, tapi cerita asli yang ada di Mahabharata, meskipun bukan cerita mainstream.
Retno Sawitri, sang juwita,
bunga kerajaan Mandaraka sudah masak secara fisik dan mental untuk
memasuki dunia perkawinan. Kecantikannya sempurna, tubuhnya semerbak
mewangi (halah, lebay deh). Bukannya tidak ada raja atau putra raja yang datang melamar, tapi dia keukeuh, ogah kawin kalau laki-laki itu bukan pilihannya sendiri.
Ayahnya, Prabu Aswapati, raja Mandaraka (Prabu Aswapati ini leluhur Salya, seorang “key person”
di cerita Bharata Yudha, kesaktiannya nyundul plafon eh,….langit!.
Salya ini punya adik, satu-satunya adiknya, namanya Dewi Madrim, yang
kemudian nikah dengan Pandu dan berputra Nakula dan Sadewa, si kembar
Pandawa itu……halah, jadi ngelantur. Kapan-kapan aja dah cerita tentang Salya, kalau ada yang mau baca!).
Sampai mana tadi? (pikun mode on)
Prabu Aswapati yang sudah mpet pada kelakuan anaknya ini sering bertanya kepada anaknya (kira-kira gini omongnya, gak pakem blas)
“Ndhuk, putri pun Romo kang dhenok dhebleng, kalaupun Romo sudah oke kalau kamu mau pilih suamimu sendiri. Terus kapan kamu mau mutusin pilihanmu itu?”
Dan anaknya pun menjawab, kira-kira juga begini:
“Bes! (dari kata Ebes, panggilan kepada ayah, khas orang Ngalam), nantilah, waktunya belum datang!”
“Terus,….kapan itu?” kejar bokapnya.
“Nantilah, Sawitri tahu kok kalau waktunya tiba, Ebes kalau kadit itreng gak usah ikut ribut dah!”. (Kadit itreng = tidak ngerti, cara Ngalam)
Ditengah Ayahnya yang pusing itu,
tiba-tiba saja Sawitri bilang kalau dia sudah menemukan laki-laki
pilihannya. Seluruh istana gempar dengan pilihan itu, meskipun tak ada
cacat yang terlihat pada diri Bambang Setiawan sang terpilih ini. Setiawan secara fisik sempurna, cuakep kaya dhalangnya (tapi bukan saya dhalangnya ya!), putra brahmana Resi Jumatsena dari Argakenanga. Jadi secara bibit, bebet dan bobot tidak ada alasan bagi Prabu Aswapati untuk menolak calon menantunya ini.
Tapi ada masalah besar yang akan
menyertai perkawinan Setiawan-Sawitri ini. Dari semadinya, Prabu
Aswapati segera tahu kalau umur Bambang Setiawan hanya tinggal setahun
lagi. Ketika dikonfirmasi kepada putrinya, ternyata Sawitripun juga
tahu, tapi tetap tidak merubah keputusannya. Baginya : ”Hidup setahun bersama orang yang saya cintai, lebih berharga dari hidup wajar selama seratus tahun” (halaaah, klepek-klepek dah yang nulis!).
Karena merasa tidak mampu menentang kemauan putrinya yang koppeh (=koppig, Bahasa Holanda untuk kepala batu)
ini, akhirnya pernikahan Satiawan-Sawitri berlangsung juga. Masa
perkawinan yang hampir dipastikan hanya berjalan setahun ini, dijalani
Sawitri-Setiawan dalam manisnya madu kehidupan. Tapi Sawitri tidak
pernah lupa bahwa umur suaminya tiap hari makin berkurang juga.
Diputuskanlah bahwa dia akan berusaha melawan takdir itu sekuat dia
bisa. Bermacam cara dilakukan dalam laku keprihatinan dan doa, agar
nyawa suaminya tidak jadi diambil. Tapi takdir memang kejam. Dan hari
akhir buat Setiawan itupun datanglah.
Berbeda dengan kebanyakan orang,
Sawitri mampu melihat kedatangan Batara Yamadipati, Sang Dewa Pencabut
Nyawa yang mendatangi suaminya. Yamadipati yang dilukiskan berwajah
raksasa, kepalanya nongol begitu saja dari badan zonder leher, mulutnya selalu terbuka seperti tertawa (meskipun gak ada manusia yang berani mengatakan bahwa dia sedang tertawa). Blas, gak ada lucu-lucunya. Penampilan Yamadipati selalu serius, tidak cengengesan seperti Narada. (Kalau Narada yang Sekjen Kahyangan itu kan sering membanyol. Omongannya yang selalu dibuka dengan kata-kata ngawur: “Blegenjong, blegenjong“. Kepalanya yang selalu mendongak ke atas, kecuali kalau nemu duit seratus ribuan di tanah)
Sawitri yang sudah terkenal karena kelakuannya yang kepala batu ini segera menerapkan ajian “diving“nya (Seperti Puyol yang mengaduh-aduh ketika ditowel CR7) tidak menerapkan ajian apa-apa (takut pada fans Barca yang demo…..). Cuma ilmu ngeyel nya
yang abis-abisan diterapkannya. Tujuannya cuma satu, membatalkan atau
paling tidak menunda kematian suaminya. Akhirnya, Yamadipati bersedia
menunda kematian Setiawan sejam saja. Hanya menunda! (Waktu sejam itu mestinya digunakan mereka buat ehm, ehm kan? Gak usah saya ceritakan ah! Parno!).
Akhirnya waktu sejam itu juga habis dan dengan kepala dipangkuan
isterinya, nyawa Setiawan dicabut Yamadipati meninggalkan raganya.
Tapi berbeda dengan perempuan lain yang
hanya mampu menangisi kematian suaminya, Sawitri segera bangkit dan
mengikuti kepergian Yamadipati. Heran dengan kelakuan Sawitri yang di
luar kebiasaan ini, Yamadipati segera bertanya
“Apa maumu, Sawitri?”
“Hamba akan ikut kemanapun nyawa suami hamba akan dibawa” jawab Sawitri
“Itu gak mungkin, ndhuk! Suamimu sekarang sudah berbeda alam denganmu!”
“Ambil saja nyawa hamba sekalian kalau begitu, pukulun! Biar hamba bisa bersatu dengan suami hamba!” kata Sawitri nangis bombay.
“Itu juga gak mungkin. Belum saatnya kamu mati sekarang” Yamadipati mulai jengkel. Baru kali ini ada manusia yang ngeyel seperti ini.
“Kalau gitu, hamba akan ikut kemana nyawa suami hamba dibawa pergi. Titik!” Sawitri ngotot.
Yamadipati yang jengkel bukan main, segera pergi dan berniat menghilang dari hadapan pengganggunya ini. Tapi ajaibnya, di depan Sawitri, semua kesaktian dan kemampuan kadewatan yang biasa dimiliki Yamadipati menguap begitu saja. Dia tidak mampu melepaskan diri dari Sawitri!.
Et dah!
Ayolah, pikir Yamadipati, kalau aku gak mampu meninggalkan perempuan ini, masa sih dia tahan berjalan jauh?. Jadilah Yamadipati sengaja berjalan muter-muter kemana-mana diikuti Sawitri, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan (kata dhalangnya sih…). Tapi ternyata Yamadipati juga salah memperkirakan kemampuan fisik Sawitri yang dikiranya lemah. (Jelas, dalam hal ini Yamadipati ini salah prediksi. Dia mungkin belum pernah tahu kalau dari tangan perempuan yang katanya lemah ini bisa meluncur “UFO” atau gilingan cabe, yang bisa membuat pria seperkasa Ade Rai pun tumbang). Sawitri gak ada capeknya!
“Sudahlah Sawitri,
pulanglah, kau sudah berjalan terlalu jauh. Lihatlah badanmu sekarang
yang tak terurus. Kain dan pinjungmu sudah belel, sobek di sana sini
tercabik onak dan duri. Kulitmu menghitam dan pecah-pecah terpanggang
matahari. Rambutmu yang awut-awutan gak pernah keramas. Gak sayangkah kamu akan kecantikanmu sendiri, ndhuk?” Yamadipati menyerang, haluuuus, tapi langsung. Kick and Rush!
“Ya sayanglah, pukuluuun. Perempuan mana sih yang gak peduli penampilannya?” Sawitri mewek-mewek.
“Kalau begitu pulanglah. Rawatlah dirimu. Keramasilah rambutmu, mumpung ada promosi shampo.
Kalau kecantikanmu pulih kembali, masih banyak lelaki lain yang bisa
kau ajak hidup bersama” Yamadipati seneng betul, rayuannya manjur.
“Lelaki lain itu untuk perempuan lain, pukulun. Lelaki hamba ya hanya itu. Lagian sekarang iklan shamponya udah gak ada kan?. Hamba gak punya pilihan lain. Jadi bolehkah nyawa suami hamba, hamba ajak pulang sekalian?” Ngeyelnya Sawitri kumat lagi……….
Yamadipati cep klakep. Gondok betul dia! Perjalananpun dilanjutkan dalam diam. Kemudian terlintas ide baru dari sang Yamadipati. Kini dia memilih memakai pola serangan yang tidak langsung. Gaya tiki-takanya si Uncle Pep.
“Pulanglah Sawitri,
Kau kan tahu si Jumatsena mertuamu itu yang tadinya raja? Yang karena
kesehatannya terganggu jadi kekuasaannya di kudeta orang? Sekarang
kesehatannya dan kekuasaannya kukembalikan. Pulanglah. Bantulah mertuamu
itu!” Yamadipati membujuk dengan bonus.
“Hamba masih tetap ingin bersama suami hamba!” Sawitri bergeming, biarpun ada bonus.
“Sudahlah, sekarang kuberi kalian 100 orang putra-putri dan hidup di suatu kerajaan yang panjang punjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah tata tentram karta raharja. Dan sekarang kembalilah, pulanglah!.” Yamadipati membujuk lagi dengan menambah bonusnya.
“Gak mau pukulun, 2 orang anak saja cukup, sesuai KB, lagian siapa yang ngempanin anak segitu banyak? Bapaknya kan gak ada?” Sawitri nyamber, ngeyel.
“Hlo, hlo, menurut
pakem pewayangan, anak kalian ada 100 orang! Jangan merubah pakem ah,
tar diomelin orang banyak!” kata Yamadipati bersungut-sungut.
“Biarin, 2 anak saja cukup dan hamba gak mau pulang kalau tidak bersama suami hamba!” Sawitri keukeuh saja.
Merasa rugi karena sudah memberi bonus tanpa hasil, sambil marah-marah Yamadipati meneruskan langkahnya dan Sawitri tetap menginthili di belakangnya. Sekarang gangguan itu bertambah karena sambil jalan, Sawitri ndremimil (ngomel-ngomel sendiri gak ada putusnya).
“Hamba ini kagum hlo sama om
Yamadipati ini, ditinggal pergi sama isterinya masih mampu hidup seolah
tanpa ada masalah” terdengar Sawitri berkata. Loh, panggilan “pukulun” kok berubah jadi “om“?
“Apa maksudmu, Sawitri?” seperti disengat lebah Yamadipati berbalik.
“Iya, hamba ini sangat kagum sama om Yamadipati ini. Kesaktiannya mampu membuat semua orang takut, tapi ketika isteri om Yamadipati, Dewi Mumpuni selingkuh dengan Bambang Nagatatmala putra Sanghyang Antaboga, eeeh si om gak marah, malah menyerahkan isteri om kepada laki-laki itu”
Gubraaaaakk! Dari marah luar biasa karena rahasianya yang paling dalam sudah dibongkar Sawitri, pelan-pelan perasaan Yamadipati menjadi semeleh dan trenyuh. (Ihlas dan terharu gitu loh!)
“Sudahlah, sudahlah,
Sawitri! Aku kagum akan kesetiaanmu terhadap suamimu. Tidak seperti
mantan isteriku yang tipis budinya itu. Terimalah, kukembalikan nyawa
Setiawan kepadamu. Jagalah dia baik-baik jangan sampai dia nanti lupa
kejadian ini, terus poligami yaa?”. (jelas, hal yang menyangkut poligami ini cuma hasil iseng yang nulis aja. Gak ada di pakem! Biar lebih dramatis gitu……)
Bisa dibayangkan betapa gembiranya Sawitri menerima suaminya kembali? Gak usah ditambah-tambah lagi dengan kalimat lain kan?
(Fragmen Sawitri-Setiawan ini
terukir jadi relief pada Candi Penataran Blitar. Candi Hindu yang
dibangun tahun 1194M, yang mengukir figur manusia pada reliefnya mirip
dengan figur wayang kulit)
Pesan cerita.
Dewi Sawitri memang menjadi teladan bagi seorang isteri yang ngeyel,
eh salah……. seorang isteri yang setia. Karena kesetiaan dan cintanya,
dia bahkan mampu membalikkan takdir dan mengembalikan nyawa suaminya.
Pesan ini tersurat amat kuat di ceritanya kan?.
Tapi kalau boleh, yang nulis ingin
menambah dengan pendapat yang amat subyektif. Biarpun kita semua
percaya takdir, tapi takdir buruk itu bisa dirubah dengan niat, kemauan
keras dan usaha yang sungguh-sungguh. Takdir hanyalah hasil akhir,
sebelum itu adalah “kerja” keras yang ngeyel dan tanpa henti.
ƪ(‾ε‾)ʃ ƪ(ˇ▿ˇ)ʃ ƪ(‾ε‾“)ʃ ▹(ˇ⌣ˇ)◃ ƪ(˘ε˘”)ʃ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar